Jl. Olah Raga No 56 Rt 08 Rw 02 Campurejo Panceng Gresik 61156 Telp. 031-3948674

Senin, 27 Januari 2014

Rame-rame mencari rombongan ke surga

Rame-rame mencari
ROMBONGAN KE SURGA

J

aminan surga itu telah di berikan kepada orang-orang yang beriman. Dan surga Adn itu, kata Rasulullah sebagaimana dikutip Imam At-Thobari (Tafsir At Thobari, Juz 14 hal.351), adalah sebuah tempat yang belum pernah terlihat dan terbayangkan oleh manusia. Di tempat itu mereka hanya akan di sandingkan bersama para nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada’. Alangkah beruntungnya, Bukan hanya itu, mereka juga akan memperoleh keridlaan di sisi Allah SWT. Yang merupakan puncak atas puncak segala kenikmatan. Dalam surat yang berbeda, Allah SWT. Menambahkan “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka  mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak di aniaya sedikitmu.” (QS An Nissa: 124).
            Selanjutnya, menarik untuk dismak, siapakah sejatinya orang beriman itu? Sampai-sampai Allah memberikan janji sedemikian indah buat mereka. Karena kita tahu bahwa “…Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (QS Ali imran: 9) .
            Pengertian orang yang beriman atau mukmin itu jelas, yakni mereka yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui bahwa segala sesuatu yang dibawa Rasul adalah semata berasal dari Allah SWT.
Sehingga tak ada alasan untuk meragukan kebenaran syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Kemudian keyakinan tersebut dikukuhkan secara verbal dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Dan keadaan itu harus digenggam kuat-kuat hingga akhir hayat, sehingga sempurnalah kehidupan mereka dengan menyandang gelar khusnul khotimah.
            Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengutip sebuah hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah berkata: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mendirikan shalat dan berpuasa di bulan ramadhan,  maka sesungguhnya Allah akan memasukkan ke dalam surga, baik yang hijrah di jalan Allah, atau tetap tinggal di Bumi tempat kelahirannya…” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah Bab 249, juz 1, h 668). Maka kunci untuk mendapat jaminan surga itu adalah beriman dan beramal saleh. Dalam hal ini, keduanya tidak bisa dipisahkan.
            Namun, apakah dalam praktiknya, kehidupaan keberagaamn kita bisa sederhana itu? Ternyata tidak. kita tahu umat islam telah terpecah dalam banyak golongan, dimana kesemuanya melontarkan klaim kebenaran, sebagai yang paling berhak atas surga Allah SWT.Yang berarti orang-orang di luar golongan irtu dianggap tidak atau kurang berhak. Bahkan sebagian dengan tegas memberi stempel sesat atau kafir pada golongan lain.sehingga untuk golongan itu adalah neraka saja tempatnya. Betapapun secara lahiriyah mereka telah bersyahadat, dan telah beribadah dengan tekun.
            Apalagi klaim-klaim “yang paling benar” itu memperoleh tendensi kebenarannya dari hadist Nabi yang tentunya sudah sangat tidak asing bagi kita. Dari riwayat Abdullah bin Umar, Rasulullah mengatakan, “…Dan umatku akan akan berkelompok menjadi 73 golongan , semua di neraka kecuali satu…” (HR. At-Tirmidzi, Al-Ajari,Al-lalkai. Hadist Hasan). Meskipun kemudian kita di beri tahu bagaimana menemukan satu yang di kecualikan dari 73 yang ke neraka itu “Apa yang ada padaku dan sahabat-sahabatku ,” sabda Nabi dalam lanjutan hadist yang sama.
            Bermacam-macam aliran dan madzhab, baik fiqh maupun teologi, bermunculan seiring berkembangnya ajaran islam di penjuru dunia. Para ulama, dengan melihat kompleksitas permasalahan yang tengah dihadapi umat islam, mengambil dalil, berijtihad dan kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa. Satu dan lainnya bisa berbeda, bahkan bertolak belakang. Karena dari dalil yang sama di tangan ulama berbeda, bisa berbuat fatwa yang saling berpunggungan, itulah ijtihat. Kebenarannya nisbi. Dua pahala bagi mujtahit yang benar, dan satu pahala bagi yang salah. Lalu, siapakah dewan juri yang paling kompeten untuk menilai hal itu? Wallahu A’lam Bisshawab.
            Sepanjang perbedaan itu tidak menyentuh ranah teologi, tentu tidak menjadi soal. Artinya, bolehkah kita sedikit “bermain” dalam soal furu’iyah, selama akidah dasarnya tetap terjaga. Tapi, bagi kita yang awam perbedaan itu tak urung menimbulkan kebingungan. Karna banyaknya produk hukum yang berlainan untuk satu persoalan. Meskipun perbedaan itu tidak harus disikapi dengan bingung. Karena, kata nabi SAW “perbedaan umatku adalah rahmat
            Tapi bukan berarti rahmat itu bisa diartikan kelonggaran seluas-luasnya, misalnya dengan mencari sekian fatwa yang enteng dari satu ulama dan membuang lainnya yang dianggap memberatkan. Sebagai seorang muqallid (orang yang bertaqlid), kita dibatasi oleh sekian aturan. Diantaranya adalah tidak boleh talfiq. Kecuali dalam keadaan darurat.
            Itulah sebabnya kita, yang hidup belakangan ketika pintu ijtihat telah “tertutup” harus banyak berhitung dan cermat dalam menjatuhkan pilihan. Menggunakan segenap potensi akal pikiran yang dianugerahkan oleh allah SWT, untik memilih dan memilah, dari sekian banyak madzab dan aliran fiqih, lebih-lebih teologi. Yakinlah bahwa agama ini tidak akan bergeser dari rasi, sebab untuk itulah allah SWT menciptakan kita sebagai mahluk yang berpikir.
            Seumpama kehidupan ini sebuah perjalanan, maka surga adalah terminal terakhir yang hendak kita tuju. Ditengah banyaknya supir dan kendaraan yang mencari-cari rombongan, mau tidak mau kita harus selektif dalam memilih. Kita perlu supir terbaik yang kita yakini tidak akan membuat kita tersesat ketempat lain, juga teman-teman seperjalanan yang selalu mengharapkan kebaikan satu sama lain, sehingga kita bisa merasa nyaman dalam perjalanan itu dan sampai ketempat tujuan tepat pada waktunya..

Sumber artikel : Kakilangit
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar